Rabu, 29 April 2009

Bubur Tumpah

"Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan" An Naba' ayat 6.
Membaca ayat ini saya teringat sewaktu terbang dari Jakarta menuju Yogya awal tahun 2008. Saya bersama seorang teman sekantor, geologist juga, tapi titel di kartu nama basin modeller. Kalau saya sekali geologist tetap geologist.
Mendekati Yogya saya menatap ke bawah lewat jendela sebelah kiri. Jarang saya terbang Jakarta-Yogya. Dulu masa mahasiswa mana ada kesempatan semewah ini.
Dataran vulkanis yang subur terhampar hijau dilereng gunung Merapi. Ingat lagi dulu kita kuliah tentang batuan vulkanik. Dataran hijau yang terhampar tersebut adalah endapan lahar yang mengalir dari puncak Merapi, dalam klasifikasi batuan disebut epiklastik.
Ketika teman geologist sebelah bertanya, bagaimana bisa seperti dataran begitu ?
Dengan gaya populer saya sebutkan prosesnya seperti bubur tumpah, dia seperti menjadi tercerahkan. Ya. Seperti bubur kalau ditumpahkan dia seperti tersebar rata.
Yang sebenarnya tidak benar-benar rata. Hamparan tersebut mulai dari Parang Tritis sampai Bulak Sumur naik dari nol meter ke ketinggian 150 meter dalam jarak horisotal 30 kilometer. Kalau dihitung kemiringan rata-rata 5 meter setiap 1000 meter, atau sekitar 0,5 persen. Dari Bulak Sumur ke UII naik menjadi 200 m dalam jarak 10 kilometer, naik 20 meter setiap 1000 meter, atau kemiringannya 2 persen. Kemiringan memang semakin tajam bila menanjak lagi ke Kaliurang, ketinggian 700 meter dalam jarak 10 km. Namun kalau dihitunga kemiringannya tetap masih rendah 3,5 persen. Tetap masih bisa disebut sebagai hamparan..
Begitulah cerita sederhana cerita tentang bubur tumpah. Namun bubur ini jauh lebih panas, yang kalau dia tumpah bisa membakar apa saja yang dia lalui, walaupun berusaha berlindungan dalam bunker pendingin sekalipun..
Bagi yang selama ini remeh dengan geologist karena lemah dalam matematik, semoga lebih OK, karena ternyata geologist sekarang lebih terampil dengan angka-angka...
Hhm, siapa sangka ...

Tiada ulasan:

Catat Ulasan