Isnin, 11 Mei 2009

NASIONALISME KAUM PROFESIONAL

Semakin banyak saya berjumpa kaum profesional sebangsa di LRT bila saja saya naik di Stesen Setiawangsa. Profesinya juga semakin beragam. Ada yang geosaintis seperti saya, ada akuntan, engineer, pilot, etc. Sesekali kami berbincang ringan dalam suasana berdesakan dengan masyarakat Kuala Lumpur yang sedang menuju tempat kerja masing. Terkadang saya terlibat diskusi spontan tentang berbagai isu semasa di Indonesia. Terkadang bisasangat serius tentang judul tersebut diatas.

Masalahnya mengemuka pada saat seseorang mulai mempertanyakan peran seorang profesional yang bekerja di luarnegeri bagi kemajuan bangsa dan tanah airnya.

Saya selalu menghibur diri dengan bercermin kepada figure salah seorang presiden RI yang ke-3, yang memang murni berlatar seorang profesional. Waktu menjadi seorang enginer di Jerman dia sudah mendekati puncak karir seorang profesional. Sudah tentu dengan segala kemudahan hidup yang tak sebanding dengan kemudahan yang dia dapatkan di Tanah Air ketika dia menerima tawaran Presiden Soeharto untuk pulang kampung.

Habibie tentu punya alasan sendiri mengapa dia menerima tawaran tersebut. Yang pasti bukan alasan materialistik, karena untuk ukuran material pasti dia jauh lebih nyaman meneruskan karirnya di Jerman.

Teman saya diskusi di LRT tampak cukup senang dengan pandangan serupa itu.

Di Kuala Lumpur kita bisa menikmati segala kemudahan hidup yang ditawarkan oleh perusahaan tempat kita bekerja. Soal nasionalisme, saya tak perlu merasa bahwa kadar nasionalisme saya lebih rendah dari pada rekan seprofesi yang bekerja di dalam negeri. Bahkan kepada atasan saya di kantor saya pernah bilang, bahwa di perusahaan tempat saya bekerja sekarang saya lebih patut disebut meneruskan pelajaran. Di perusahaan ini saya menggali pengalaman lebih banyak.

Terkadang saya juga bercermin kepada Nabi Yusuf, yang tidak berhenti belajar, dan terus belajar. Dengan ilmunya yang memang mumpuni sebagai nabi, dia tidak kekurangan media untuk mengajarkan ilmunya, sehingga harum nama sampai keluar penjara.

Saya percaya kepada dinamika takdir manusia, yang penuh dengan kejadian sebab-akibat, menguntai bak rantai, tapi lebih banyak tak terduga oleh manusia.

Kalau Allah menghendaki, nasib seorang yang sekarang terpenjara, besok-lusa dia bisa menjadi pejabat istana.

Profesi saya hari ini adalah seorang ilmuan, yang terus menimbah ilmu. Hari ini bangsa lain menghargainya jauh lebih tinggi.

Nanti bila saatnya tiba, ada yang lebih memerlukan kemampuan saya di negeri sendiri, apakah patut saya tolak ?

Tiada ulasan:

Catat Ulasan